AKU MENJADI JANDA KARENA NANDA (part 11)


Sebuah postingan di akun Whatssap siang itu membuat Hati Mila nyeri sekaligus ingin Marah rasanya. Betapa tidak, melihat  foto sebuah Tas dari Brand lokal  cukup terkenal  yang diunggah oleh Bu Ida mertuanya dengan caption : 'Alhamdulillah tas baru'. Mila tau pasti harga tas itu di kisaran tiga juta, karena Ia pun rajin menyambangi Store-nya di Mall dekat rumahnya. Jadi ini yang disebut mertuanya keperluan mendesak? Ini sama sekali tidak mendesak menurut Mila, lebih ke hura-hura tepatnya. Tak masalah sebenarnya jika mertuanya itu membeli dengan uang sendiri, tapi ini dengan uang hasil menodong dari menantu. Ah, entahlah...Mila tak bisa melampiaskan kekesalannya.

"Mil, ngelamun aja?" sebuah suara menghentikan Mila dari lamunan beratnya.

"Eh, Mbak Anis...bikin kaget aja." Mila tersenyum ke arah temannya yang kini sudah duduk di kursi sebelahnya.

"Kamu sih, ngelamun aja. Udah makan siang belum? Kita ke Ayam goreng Gajah Mungkur, yuk?" ajak Anis. 

Anis adalah rekan kerja Mila di kantor, dia di divisi keuangan menjabat sebagai Accounting. Hubungan Mila dan Anis cukup dekat. Mila bahkan sering curhat masalah pribadi pada temannya yang satu ini. Sebelum menikah dulu, Mila kerap datang ke rumah Anis untuk sekedar mengobrol, menceritakan petualangan mencari cintanya yang sering berakhir tragis. Sifat Anis yang dewasa dan tidak gampang menghakimi , membuat Mila nyaman untuk menceritakan keluh kesahnya. Terlebih bersama Anis, kerahasiaan ceritanya terjamin, karena temannya ini bukan tipe perempuan penyebar gosip. Ingin rasanya Mila juga menceritakan masalahnya kali ini, tapi...entahlah Mila merasa masih bisa memendamnya sendiri. Ia tak ingin mengumbar aib rumah tangganya. 

"Iya, Mbak...belum. yuk lah kalau gitu." Mila dan Anis pun beranjak keluar kantor untuk makan siang ke Resto yang tak jauh dari kantor.

"Mil, aku perhatiin akhir-akhir ini kamu sering murung. Ada masalah apa?" tanya Anis sembari menyesap Orange Juice yang terhidang di meja.

"Ehm, enggak kok... Mbak. Kecapean aja kali ya, efek hamil muda. Nggak ada masalah yang berarti kok." Mila beralasan. Ingin Mila menceritakan kebenaran yang ada di hatinya, tapi Ia takut menangis lagi. Ia merasa lelah untuk terus menangis.

"Oh, syukurlah kalau nggak ada masalah. Yang jelas kalau ada apa-apa cerita aja ya, Ibu hamil nggak boleh stress. Uneg-uneg di hati itu racun loh, harus dikeluarkan biar nggak mengganggu psikis kamu." ujar Anis.

Ponsel Mila tiba-tiba berdering, panggilan masuk dari Ayahnya. Mila menggeser tombol hijau dan segera menjawab salam dari seberang sana.

"Iya, Yah?"

"Mil, akhir bulan ini Ayah butuh uang sepuluh juta..buat bayar Bank sama tambahan modal toko baju kita. Kamu kirimin, ya. Pokoknya paling lambat tanggal 30 bulan ini." ujar Baskoro tanpa basa-basi pada anaknya.

"Sepuluh juta, Yah?" Mila menghela nafas berat. Sekarang memang masih tanggal 10, artinya Ia masih punya waktu 20 hari sebelum harus mentransfer uang yang diminta Ayahnya. Tapi profesi sebagai Marketing Property tidaklah semudah kelihatannya. Orang mengeluarkan uang untuk membeli rumah tentu tak semudah membeli kacang, bukan?

"Iya, jangan sampai nggak dikirim ya?" Baskoro menegaskan.

"Tapi aku belum ada penjualan lagi, Yah. Jadi belum bisa janji. Aku usahain, ya? Doain aja supaya konsumen-konsumen yang ku-follow up segera jadi beli dan bayar uang muka." Mila menjelaskan.

"Jangan gitu, Mil. Pokoknya harus ada, ya. Emang kamu mau kalo Ayah sama Ibu ditangkap polisi gara-gara nggak bayar hutang ke Bank? Kamu harus cariin ya uangnya gimanapun caranya." kata Baskoro lagi. Mila menahan sesak di dadanya. Kenapa hidupnya penuh tekanan dari segala penjuru.

"Iya, Yah." jawab Mila lirih.

"Nah, gitu dong. Itu baru namanya anak Ayah." 

***
Dua tahun menggeluti pekerjaan sebagai Marketing, Mila sudah cukup mahir dalam menggugah hati konsumen untuk membeli produk yang Ia tawarkan. Beruntungnya Ia masih diberi kelancaran rezeki. Dalam dua minggu ini, Ia berhasil closing, menggaet tiga orang konsumen. Jadi dalam waktu dekat Ia sudah bisa mengajukan pencairan Fee tahap pertama. Lumayan, Ia akan mendapat dua belas juta Rupiah pada tahap ini. Itu artinya, Ia masih punya sisa dua juta untuk mencukupi kebutuhannya setelah nanti mentransfer uang permintaan Ayahnya.

"Besok kamu ada pencairan fee penjualan kan dua belas juta?" tanya Nanda sore itu sembari membaca chat yang ada di aplikasi hijau milik Mila. Begitulah Nanda, Ia selalu patroli ponsel milik Mila untuk memantau posisi keuangan istrinya. Isi pesan dari Mila kepada bendahara kantor itu dibaca sampai habis oleh Nanda, sehingga ia tau pasti kapan uang fee itu cair dan berapa jumlahnya.

Mila hanya melirik sekilas ke arah suaminya, tanpa berniat menjawab. Bingung juga agaknya, Ia ingin menjelaskan bahwa uang itu akan Ia kirim ke Ayahnya, tapi dia khawatir menimbulkan keributan lagi.

"Suami nanya bukannya dijawab malah matung!" Nanda mendelik, kemudian mendengkus kesal. 

[Mil besok jangan lupa ya transfer yang sepuluh juta itu. Kan kamu udah janji.] tiba-tiba pesan masuk dari Baskoro muncul di layar handphone Mila. Mata Nanda seketika membulat, ada kilatan gusar di sana.

"Mil, apa-apaan nih Ayah kamu?" Nanda bertanya dengan nada tinggi.

"Ayah kenapa memangnya, Mas?" Mila yang belum membaca pesan dari Ayahnya itu terlihat bingung.

"Nih, baca aja sendiri chat dari Ayahmu! Ngapain minta duit sampe 10 juta?"

Mila sedikit terkejut. Duh, kenapa Nanda harus tau duluan sebelum uang itu Ia transfer ke Ayahnya? Tentu saja ini akan menjadi runyam.

"Sini handphone-nya, Mas...biar kubalas dulu pesan Ayah." Mila mengulurkan tangan mengambil handphone yang ada di genggaman Nanda.

"Mau kamu balas apa?" selidik Nanda.

"Ya mau kuiyain lah, Mas." balas Mila.

"Mila, denger ya! Kamu itu udah nikah, udah punya suami. Apa yang kamu lakukan harus atas izinku! Aku nggak izinin kamu buat transfer uang itu!" Nanda berkata ketus.

"Nggak bisa gitu, dong, Mas. Aku udah janji sama Ayah. Ayah butuh uangnya untuk bayar utang ke Bank. Lagian aku udah janji." 

"Nggak bisa, pokoknya aku bilang nggak ya nggak. Uang itu untuk kebutuhan kita sehari-hari. Buat apa kamu kerja ninggalin rumah, kerjaan di rumah terbengkalai tapi aku nggak ikut menikmati hasilnya. Kok malah Ayah kamu yang enak-enakan nikmatin duitnya! Orang tua macam apa itu!" 

"Mas! Jaga ucapanmu!" Mila menggeram marah mendengar Ayahnya dicaci maki seperti itu.

"Lagian Ayahmu itu aneh, anak udah nikah kok masih aja mau diporotin terus!" Kalimat itu meluncur dengan semena-mena dari mulut Nanda.

"Ini uang aku ya, Mas. Aku kerja, Mas nggak bisa larang aku begini." Mila menatap tajam kepada suaminya. Hatinya bergemuruh menahan kesal.

"Kamu nggak usah sok mentang-mentang kamu kerja dan berkarir." Nanda mencengkram dagu Mila dengan kuat, "Kamu itu istri aku, ada di bawah kekuasaanku dan harus tunduk sama aku!" Nanda menatap sinis, tanpa melepas cengkramannya yang membuat Mila kesakitan.

"Lepasin, Mas..sakit!" tangan Mila menepis tangan Nanda yang mencengkram kuat dagunya.

Nanda menatap sejurus ke arah Mila, kemudian Ia segera berbalik badan dan berjalan menuju Meja rias yang di atas sana tergeletak dompet Milik Mila. Dibongkarnya dompet itu, kemudian mengambil kartu Atm yang ada di dalamnya dengan gerakan sangat cepat.

"Nih, Atm kamu aku sita! Uang fee-nya besok ditransfer ke sini kan? Jadi jangan harap kamu bisa kasih uang ini ke Ayahmu." Nanda tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu keterlaluan, Mas! Keterlaluaan!" teriak Mila seraya mengusap air mata yang mengalir begitu saja di pipinya. Nanda tau pin Atm miliknya, ah...habis sudah!
***
"Mil, kenapa kamu cuma transfer dua juta?" suara Baskoro di seberang sana mencecar Mila di pagi hari.

"Maaf, Ayah...itu Nanda yang transfer bukan Mila." jawab Mila terbata-bata.

"Maksudnya gimana sih?" Suara Baskoro terdengar menahan kesal.

"Atm Mila diambil sama Mas Nanda, Yah. Dia bilang Mila nggak boleh transfer banyak-banyak ke Ayah."

"Apa-apaan! Nggak bisa gitu, dong! Ayah udah nungguin loh. Kamu juga udah janji. Ini buat bayar hutang ke Bank, Mil. Kamu mau Ayah dipenjara?" Baskoro setengah membentak.

"Mila harus gimana, Ayah?"

"Ayah nggak mau tau, pokoknya kamu minta kembali itu atm kamu. Seenaknya aja Nanda mau menguasai uang anakku. Kamu harus ingat ya, Mil. Ayah sama Ibu yang udah merawat dan membesarkan kamu dari sejak lahir. Jangan mentang-mentang udah nikah kamu jadi anak durhaka!"

Deg! Hati Mila mencelos mendengar ucapan Ayahnya. Ada sesuatu yang terasa menghujam jantungnya. 'Apa ini? Kenapa semua orang memojokkanku? Aku harus berbakti kepada suami, tapi juga tak boleh durhaka pada orang tua.' Batin Mila menjerit, serasa ingin mengubur diri saja ke dalam tanah.

"Iya, Ayah...Mila tau. Mila harus selalu berbakti sama Ayah sama Ibu. Tapi tolong Ayah ngertiin posisi Mila juga. Mila pun bingung gimana caranya menghadapi sikap Nanda yang bar-bar seperti itu." Mila menahan tangis.

"Ya udah, pokoknya kamu urus aja dulu urusan sama suami kamu itu. Segera selesaikan, Ayah butuh uangnya cepat."

Tut!
Baskoro mematikan sambungan telepon tanpa mengucap salam. 

"Ngapain itu mata merah? Nangis? Ngadu lagi sama orang tua?" cerca Nanda yang tiba-tiba sudah ada di belakang Mila. Mila tersentak kaget.

"Mas, aku bukan ngadu. Ayah nelpon nanyain uangnya, dan aku cuma menjelaskan apa yang terjadi sesuai fakta biar Ayah nggak marah."

"Dan faktanya Ayah kamu tetap marah kan? Mil, Mil...orang tua seperti itu kok masih aja kamu belain terus." senyum Nanda terlihat seperti meremehkan.

"Udah, Mas! Nggak usah kamu jelek-jelekin orang tua aku! Mama kamu pun pinjem duit dari aku cuma buat foya-foya nggak jelas! Anaknya nggak mampu, menantu yang diporotin!" Kesabaran Mila habis sudah.  Bagaimanapun, Ia tak suka jika orang tuanya direndahkan.

"Mila! Jaga mulut kamu!" Nanda melayangkan tangannya hendak menampar Mila. Mila menahan tangan kekar itu agar tak meninggalkan jejak sakit di pipinya.

"Faktnya memang iya, Mas. Mama bilangnya kebutuhan mendesak, nggak taunya cuma untuk beli tas, buat gaya-gayaan!" 

"Diam ya, Mil. Seenggaknya Mama itu pinjem, suatu saat akan dikembalikan. Nggak kayak Ayah kamu!" 

"Cukup, Mas! Mana Atm aku, sini kembaliin!" Mila berteriak kesal.

"Nih!" Nanda melemparkan kartu Atm dari saku celananya dengan kasar, "masih ada sisa dua juta, selebihnya biar aku yang pegang." lanjut Nanda kemudian.

"Mas, kamu gila apa?" Mila meradang marah.

"Terserah, yang jelas aku lebih berhak daripada Ayah kamu." Nanda berlalu meninggalkan Mila dengan segala kegundahannya.

Mila segera mengambil ponsel miliknya dan menelpon sang Ayah.

"Yah, gimana ini? Uangku diambil semua sama Mas Nanda. Isi Atm dikuras cuma disisain dua juta aja." Mila mengabari Ayahnya dengan nada panik.

"Brengsek! Kurang ajar sekali Nanda itu!" Baskoro terdengar gusar dan menggeram marah.

"Maafin Mila, Ayah. Mila nggak tau harus berbuat apa, Mila bingung. Nanda itu nggak bisa ditentang. Kalo ditentang marah, bahkan kadang sampe mukul." Mila terisak mengadu pada Ayahnya.

"Suami kamu itu nggak berguna banget! Katanya orang kaya, tapi boro-boro royal sama mertua, malah istri sendiri diporotin!" 

Mila tergugu mendengar ucapan Ayahnya. Ada benarnya juga. Ia mau menerima lamaran Nanda selain karena memang rasa cinta, Mila juga melihat prospek masa depannya cukup tercerahkan dengan keadaan perekonomian keluarga Nanda. Tapi nyatanya, semua itu hanya fana. Kehidupan finansial  Mila justru memburuk setelah menikah.

"Tau gitu mending kamu cerai aja sama dia. Suami kere medit begitu kok dipertahanin!" ujar Baskoro lagi tanpa pikir panjang.

Astaga! Cerai? Segampang itukah?

"Ayah, Mila sedang hamil loh. Lagian kok Ayah malah nyaranin kayak gitu. Emang ayah mau aku jadi janda?" Mila berucap lirih dan menghela nafas berat.

"Ah, terserahlah! Pokoknya Ayah nggak mau tau ya. Kamu bujuk Nanda dan ambil kembali uang itu. Setelah itu segeta transfer ke Ayah. Oke, Assalamualaikum."

Tut. Sambungan telepon terputus. Bulir air mata membanjiri pipi Mila. Apa yang harus dia lakukan?

Baca juga

Posting Komentar