AKU MENJADI JANDA KARENA NANDA (Part 10)


Hari ini Mila izin tidak masuk kerja, Ia sedang merasa tak enak badan. Sedari pagi perutnya terasa mual dan kepala pun rasanya berat. Hal seperti ini kerap terjadi pada kehamilan di trimester awal, ditambah lagi ribut terus-terusan yang terjadi antara dirinya dan Nanda agaknya juga cukup berpengaruh dan membuatnya stres.

Sampai sesiang ini pun Mila tidak melakukan apa-apa, hanya rebahan di kamar. Cucian piring di dapur terlihat menumpuk, dan Mila belum ada niatan untuk membereskannya. Biar saja, nanti jika Mood-nya Nanda sedang baik, maka suaminya itu akan membereskannya. Namun jika tidak, Mila sendiri kelak yang akan membereskannya, itu juga kalau kondisinya sudah membaik. Pun tumpukan pakaian yang sudah diangkat dari jemuran kemarin, masih teronggok di sudut ruangan. Jangankan untuk menyetrikanya, sekedar melipatnya dulu agar tak terlihat berantakan pun terasa berat oleh Mila. Kepalanya pusing, Ia sama sekali tak berniat mengerjakan apa-apa hari ini. Lantai rumah pun hari ini belum terjamah oleh sapu. Biarlah, tak akan ada yang protes juga.

Ponsel Mila berdering, panggilan dari Ayahnya. Mila segera menggeser tombol hijau dan kemudian terdengar suara Ayahnya dari seberang sana. Awalnya Ia dan Ayahnya hanya saling bertukar kabar biasa, namun lama kelamaan Mila tak tahan juga untuk tak menceritakan apa yang baru saja terjadi antara Ia dan suaminya tadi malam, keributan yang terjadi karena Nanda tak terima bahwa Mila mengirimkan uang pada Ayahnya tanpa persetujuan Nanda.

"Jadi, Nanda nggak bolehin kamu kirim uang untuk Ayah?" suara Pak Baskoro di  seberang terdengar kesal.

"Iya, Yah. Dia sampe marah banget."

"Dengar ya, Mil. Mau bagaimanapun kamu harus tetap selalu kirim uang untuk Ayah. Kamu nggak mau kan jadi anak yang durhaka? Semenjak menikah bahkan kamu jadi lebih sedikit kirim uang ke Ayah, biasanya kamu royal banget." Baskoro seperti menyuarakan protesnya.

"Maaf ya, Ayah. Soalnya kebutuhan Mila sekarang lebih banyak, dan lagi Mas Nanda belum pernah kasih uang belanja untuk aku." ucap Mila lirih, Ia takut kalimat ini bisa memicu amarah Ayahnya.

"Iya Ayah tau semenjak hamil pasti kebutuhan kamu meningkat. Tapi Ayah nggak suka kalau Nanda terlalu ngatur dan membatasi kamu. Ayah nggak mau ya kalau Nanda sampai merubah kamu jadi anak yang nggak berbakti. Kamu harus ingat bahwa Ayah dan Ibumu ini membesarkan kamu dengan susah payah, dan dengan biaya yang tidak sedikit juga tentunya." ujar Baskoro.

"Iya, Yah. Makanya Mila pusing kalo Mas Nanda sampe bilang begitu. Padahal yang Mila kirim ke Ayah itu uang Mila sendiri, bukan uang dari dia. Boro-boro dia bisa berbagi untuk mertua, Aku sebagai istri aja belum pernah diberi nafkah." mata Mila mulai berair, ada rasa sesak yang tak tertahan di dalam hatinya.

"Dia itu suami macam apa! Kamu harus tuntut dia untuk memberi nafkah. Kamu sudah menikah bukannya dibikin bahagia malah harta kamu dikuras. Percuma aja dulu kamu bela-belain nikah sama orang kaya. Nggak ada untungnya kok malah dia yang morotin." cerca Baskoro penuh emosi.

"Iya Ayah, Aku juga bingung bagaimana menghadapi sikap Mas Nanda yang seperti ini,"

"Mila!" suara teriakan Nanda yang tiba-tiba muncul membuat Mila kaget.

"Nelfon siapa kamu, Hah?" Nanda terlihat gusar dan dengan serta merta merebut ponsel yang tengah digenggam Mila. Dilihatnya nama yang tertera di layar, dan seketika tatapan matanya menyiratkan kemarahan.

"Bagus Kamu, ya! Pake acara ngadu sama orang tua. Kamu itu sudah menikah, jangan kekanak-kanakan!" Nanda membanting Handphone Mila ke sembarang arah. Beruntung, ponsel yang panggilannya sudah ia matikan itu hanya terjatuh ke kasur, bukan ke lantai.

"Mas, Kamu jangan kasar!" Mila emosi melihat suaminya yang dengan seenaknya merebut ponsel di genggamannya dan kemudian melemparnya.

"Denger ya, Aku nggak akan kasar kalau bukan kamu yang mancing kemarahan! Aku nggak suka kalau keluarga kamu ikut campur sama urusan kita!" nada suara Nanda semakin meninggi.

"Tapi orang tuaku berhak tau apa yang terjadi dengan anaknya." sergah Mila tak mau kalah.

"Ayolah, Mil. Jangan masalah kecil seperti kemarin saja kamu lebay cerita sampe nangis-nangis ke Ayah kamu seolah kamu tersiksa dan menderita. Drama banget, Jangan besar-besarkan masalah!" Nanda berujar sinis.

"Menurutmu ini memang sepele, Mas. Tapi ini masalah besar untuk aku dan orang tuaku!"

"Ya ampuuun...rumah kok kayak kapal pecah!" Sayup-sayup terdengar suara seseorang berteriak dari arah ruang tengah. Itu seperti suara Bu Ida, Mamanya Nanda.

"Itu suara Mama ?" Mila menatap Nanda penuh tanya.

"Sepertinya iya. Yaudah, berdebatnya lanjut nanti aja...kita sambut dulu kedatangan Mama." ujar Nanda sembari bergegas menuju keluar kamar, sementara Mila masih terduduk lemas di tepian ranjang. Ingin berdiri tapi rasanya ogah-ogahan, kepalanya masih pusing dan mual di perutnya membuat Ia tak nyaman untuk banyak bergerak.
Namun belum sempat Nanda keluar, Bu Ida tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu kamar mereka. Bu Ida mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan, kemudian melirik Mila dengan sinis.

"Mila, jam berapa ini. Sudah sesiang ini kamu masih malas-malasan di kamar?" Bu Ida menatap tajam ke arah Mila.

"Iya, Ma....maaf Aku..."

"Liat tuh, cucian piring numpuk. Lantai kotor berdebu, baju berserakan di keranjang belum disetrika, dan kamu di kamar malah malas-malasan! Di rumah ini seperti tidak ada perempuan saja!" Bu Ida berceloteh tanpa memberi kesempatan Mila melanjutkan kalimatnya tadi.

"Kamu udah makan belum, Nanda? Jangan-jangan istri kamu ini juga nggak bikinin sarapan buat kamu." Bu Ida menoleh ke arah Nanda.

"Udah, Ma. Tadi pagi beli Nasi Uduk di depan. Si Mila mana pernah masak. Kalau nggak aku yang masak, palingan ya beli masakan jadi aja di warteg." Alih-alih membela istrinya, Nanda justru jadi provokator yang membuat keinginan mengomel Mamanya itu semakin bergejolak.

"Kamu jadi istri kok nggak guna banget sih, Mil! Istri itu wajib melayani suami, menyiapkan segala keperluan dan kebutuhan suami. Layani suami kamu dengan baik. Kalau kelakuan kamu begini, bisa-bisa Nanda nggak betah dan lebih memilih untuk meninggalkan kamu!"

Hati Mila mencelos mendengar cercaan mertuanya. Dalam hati Ia tersenyum sinis. Apa hanya Istri yang dituntut untuk selalu menjadi baik? Apakah Nanda suaminya yang tak pernah menafkahinya itu tak perlu dituntut untuk menjadi baik pula? Entahlah, Mila sendiri bingung... apa keluarga Nanda tak paham bahwa dalam rumah tangga itu diperlukan kata saling, saling pengertian dan saling melayani. Saling melengkapi juga, itu yang terpenting.

"Ma, aku tuh lagi nggak enak badan. Makanya belum bisa ngapa-ngapain. Namanya juga masih hamil muda." Mila menyuarakan protesnya dengan  lirih. Selain tak berani meninggikan nada bicara di hadapan mertua, Ia juga lelah, habis sudah energinya setelah berdebat dengan Nanda tadi.

"Kamu nggak usah alasan, ya, Mil. Jangan manja lah! Hamil kok dijadiin alasan. Mama dulu juga waktu hamil masih bisa kok beres-beres rumah." Bu Ida masih tak mau kalah.

"Iya, tapi kehamilan orang kan beda-beda sih, Ma." jawab Mila lagi.

"Mama nggak mau tau ya, pokoknya kamu harus segera beresin rumah yang super berantakan ini. Kamar, dapur, ruang tengah...semuanya kotor." Bu Ida mendelik kesal ke arah Mila. Sementara Mila hanya bisa memijit pelan pelipisnya dengan Ibu jari dan telunjuk. Kepalanya sakit. Sakit luar dalam, seperti hendak pecah rasanya.

"Ma, udah...tenang dulu. Jangan marah-marah terus nanti darah tinggi loh," Nanda mencoba menenangkan Mamanya.

"Habisnya istri kamu ini keterlaluan, Nanda. Dia harus sedikit dikerasin, jangan terlalu kamu manjain."

"Iya, iya. Udahlah, Ma...Nanda bisa selesaiin itu semua. Emang Mama kesini cuma mau marah-marah doang?" tanya Nanda lagi.

"Enggak sih, Mama kesini mau minjem uang." jawab Bu Ida.

Mila menghela nafas berat, kemudian tersenyum sinis mendengar permintaan Mama mertuanya itu. 'Salah alamat minjem duit ke Nanda, istrinya aja nggak pernah dikasih.' Mila membatin.

"Tiga juta aja, ada kan?" Mama bertanya pada Nanda.

"Duit Nanda habis, Ma. Kemarin baru aja belanja buat ngisi stok barang di toko." ujar Nanda.

"Oh, nggak harus pake duit kamu kok, Sayang. Kan bisa pinjem duit istri kamu itu. Mama ada kebutuhan yang urgent ini." Bu Ida dengan serta merta melirik ke arah Mila.

Mila yang sedikit terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya, seketika langsung berujar, "Aku nggak ada duit, Ma."

"Jangan bohong kamu, Mil." Nanda melotot ke arah istrinya.

"Iya, kamu sama mertua sendiri jangan pelit dong. Percuma punya menantu wanita karir kalo Mama sebagai mertua nggak pernah kecipratan nyicip duit gaji kamu." Bu Ida berucap ketus.

"Ayolah, Mas. Kamu liat sendiri kemarin di dompetku ada berapa, dan itu juga semuanya sudah kamu ambil." Mila terlihat kesal.

"Kan itu yang di dompet, yang di rekening pasti masih banyaklah." ucap Nanda seperti tanpa beban.

"Iya, Kamu nggak boleh gitu ya, Mil. Sama orang tua sendiri aja main kirim seenaknya. Giliran sama mertua hitung-hitungan. Kamu harus adil! Lagian ini Mama minjem loh, bukan minta cuma-cuma." ada penekanan pada kata Adil dari kalimat yang diucapkan Bu Ida.

Mila mendelik ke arah Nanda, seperti hendak protes. Ya, kenapa Mertuanya bisa berkata begitu? Apalagi penyebabnya kalau bukan Nanda yang telah ember menceritakan masalah mereka pada Bu Ida. Ia ingat, tadi Nanda memarahi dirinya karena membawa ayahnya untuk ikut campur dalam masalah mereka. Sementara Nanda sendiri pun juga membiarkan Bu Ida untuk masuk ke ranah privacy mereka berdua. Sungguh tidak konsekuen, teriak hati Mila.

"Sudah kubilang, itu untuk biaya persiapan lahiran anak kita nanti." Mila menjawab pelan.

"Anak kita lahir masih 6 bulan lagi, kamu masih punya banyak waktu untuk menabung. Nih, cepat transfer aja." Nanda berujar sembari mengambil ponsel Mila yang tergeletak di kasur, kemudian menyerahkannya pada Mila.

Mila menerima ponsel itu dengan gerakan malas. Segera dibukanya aplikasi mobile banking, kemudian mentransfer sejumlah tiga juta rupiah ke rekening Ida Rohayani. Sebenarnya Ia tak ikhlas melakukannya, tapi Ia terlalu lelah untuk berdebat, kemudian ribut dan ribut lagi. Cukup sudah pening di kepala dan mual di perut membuat fisiknya lelah, jangan ditambah lagi dengan beban psikis dari pertengkaran yang tak berkesudahan.

Baca juga

Posting Komentar