- 2019/2020
- Adminisrasi Guru
- Akreditasi
- Akreditasi PAUD
- beasiswa
- Buku Paket
- Celoteh
- Cerita Seri
- Diary Galau
- HANYA CERPEN
- Informatika
- Kurikulum 2013 Revisi 2018
- Modul
- MTs
- Otomotif
- PERANGKAT
- Perangkat SMA
- PROSEM
- Provider Seluler
- Puisi
- Resep Masakan
- RPP
- Soal dan Jawaban
- Soal Dan Kunci Jawaban
- Soal Multimedia
- Teks Laporan
- Teks Rekaman Percobaan
- True Story
NENEK PELIT
"Keeerriiiiiipiiik pisaaang ... keeriiiipiiiikk singkoooong!" Si mamang Keripik itu lewat depan rumahku sambil meneriakkan dagangannya dengan nada yang khas.
"Mang, mau dong." panggilku agar Ia menghentikan langkahnya. Bersamaan dengan itu, kulihat pintu rumah di sebelah rumahku dibuka. Seorang Nenek yang tinggal sendirian di situ keluar, lalu ikut mendekat melihat dagangan keripik pisang.
"Mau berapa, Teh?" tanya si Mamang padaku.
"Biasa, tiga bungkus aja." ujarku sembari menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan.
"Beli keripik juga, Nek?" aku menyapa Nenek yang sudah ada di sampingku. Nenek ini adalah tetangga baruku, yang mengontrak di sebelah rumahku. Baru sekitar dua minggu yang lalu Ia menghuni kontrakan ini. Aku tak tau Nenek siapa namanya, aku terbiasa menyapanya cukup dengan sebutan Nenek saja.
"Iya nih," jawab Nenek sambil tersenyum. "Berapaan, Mang?" lanjut Nenek lagi bertanya pada si Mamang.
"Biasa, Nek, beli sepuluh ribu dapat 3 bungkus." jawab si Mamang.
"Mahal amat? Sepuluh ribu kasih 5 ya." tawar Nenek.
"Waduh, nggak bisa atuh, Nek. Saya nggak dapet untung. Kalo jual satuan aja saya jualnya harga empat ribu." jawab si Mamang menolak penawaran Nenek.
"Aah ... dapetlah, tawar dikit aja masa nggak boleh." Nenek tampak ngotot.
'Astaghfirullah! Pelit amat sih Nenek ini.' batinku dalam hati. Ini Nenek sungguh keterlaluan. Tidak kasihankah pada si Mamang yang menjajakan keripiknya dengan keliling berjalan kaki? Dengan pedagang kecil seperti ini seharusnya jangan ditawar, lebihkan bila perlu. Harga segitu tidaklah mahal menurutku. Apalagi Nenek ini orang yang cukup berada sepengetahuanku. Karena beberapa hari yang lalu Nenek sudah sempat bercerita bahwa Ia mempunyai 8 orang anak yang katanya semuanya sukses.
Setelah melewati perdebatan alot yang tak membuahkan hasil, si Nenek akhirnya tetap membeli keripik tersebut meski dengan wajah terpaksa.
***
"Neng, tolong masukin nomor token listrik ini dong." ujar Nenek siang itu saat aku tengah mengangkat jemuran baju.
"Sebentar ya, Nek ... Aku selesaiin dulu angkat bajunya."
Setelah meletakkan baju-baju yang sudah kering itu ke keranjang, aku bergegas ke rumah Nenek. Kuambil kertas berisi sederet angka yang disodorkan Nenek itu padaku.
"Dari tadi pagi Nenek kirain mati lampu, eeh ternyata kata si Syifa di rumahnya nggak mati lampu, pulsa listrik Nenek yang habis," ujar Nenek sambil terkekeh. Syifa adalah anak tetangga depan rumahku.
"Hahhaa iya, Nek. Sudah nih. Tuh, udah hidup lagi kan TV di rumah Nenek." kataku lagi sambil melongok ke dalam rumah Nenek.
"Iya, makasih Neng ya," kata Nenek lagi.
"Oh iya, itu pulsa isi berapa?" tanya Nenek padaku.
Aku mendongak ke atas untuk melihat KWH-nya, "Dua puluh ribu, Nek." jawabku.
"Nenek beli pulsa listrik kok nggak tau berapa? Emang tadi berapa bayarnya, Nek?" tanyaku heran.
"Kan Nenek beli di depan ngutang, jadi sedikasihnya. Bayarnya nanti kalau si Iwan anak nenek yang bungsu itu ke sini."
Hmm, ternyata Nenek ini sedang tak memegang uang. Aku jadi sedikit miris, sepertinya Ia kurang diperhatikan oleh anak-anaknya yang jumlahnya sampai delapan orang itu.
"Oh gitu, yaudah Nek aku pulang dulu ya." pamitku.
"Sebentar, Neng ..." Nenek mencegah langkahku, "Nenek boleh pinjem duit, nggak? Dua puluh ribu aja, besok Nenek ganti." lanjut Nenek lagi.
Aku semakin kasihan, bahkan sekedar dua puluh ribu pun Nenek harus berhutang. "Ada, Nek. Sebentar ya aku ambil dulu." ujarku sembari melangkah ke rumah untuk mengambil uang tersebut.
***
"Darimana, Nek?" sapaku siang itu saat melihat Nenek berjalan sembari membawa sebungkus plastik.
"Ini habis beli cilok buat makan nasi. Lumayan beli lima ribu bisa buat dua kali makan."
Ya Allah, kenapa aku jadi sedih mendengar penuturan Nenek. Ia makan nasi hanya dengan cilok, itupun dengan porsi yang sangat sedikit dan dibagi untuk dua kali makan.
"Padahal tadi mau sekalian beli makaroni, eeh habis. Lumayan makaroni beli dua ribu juga banyak, Neng. Buat ngemil sambil nonton TV." cerita Nenek sambil terkekeh.
"Wah, kebetulan ini tadi aku habis menggoreng makaroni, Nek. Nenek mau?" aku menawarkan persediaan cemilanku yang masih banyak.
"Mau atuh, Neng. Yaudah, Nenek mau duduk santai di rumah Neng ajalah. Sambil ngobrol sambil ngemilin makaroni." ujar Nenek bersemangat.
Lalu di sinilah Nenek sekarang, duduk di ruang tamuku sembari menonton TV. Awalnya kami hanya mengobrol biasa, mengomentari acara yang sedang tayang di channel Ikan terbang, yang mengisahkan tentang azab anak durhaka. Kemudian Nenek bertanya padaku, "Nenek punya anak banyak, kenapa ya, Neng ... kok nggak ada yang sayang sama Nenek?"
"Ngg ... nggak tau atuh, Nek." jawabku spontan, karena cukup kaget mendapat pertanyaan itu. Mau menjawab pun aku bingung, karena aku juga tak tahu menahu tentang latar belakang kehidupan Nenek dengan anak-anaknya dulu.
"Punya anak 8 orang teh nggak ada yang perhatiin. Padahal semuanya sukses, sekarang jadi Bidan. Tapi nggak ada yang pernah ngirimin Nenek duit." ujar Nenek dengan raut sedih.
"Boro-boro ngasih duit, jenguk Nenek juga pada males. Paling si Iwan aja tuh yang bungsu, kalo hari sabtu sama minggu ke sini. Beliin makanan sama ngasih duit yang nggak seberapa."
Aku menghela nafas. Ya Allah, Nenek ini anaknya banyak tapi tak ada yang perhatian. Kasihan. Aku jadi menyesal sudah merutukinya Nenek pelit saat melihatnya membeli keripik kemarin. Ternyata Ia memang tak punya banyak uang.
"Jadi Nenek makan dan kebutuhan sehari-hari cuma ngandelin dari duit Iwan aja, Nek?" tanyaku.
"Iya. Yah, adalah tambahan sedikit dari anak Nenek yang di Amerika. Tapi itu juga paling ngasihnya 5 bulan sekali, nggak tentulah pokoknya. Tergantung rejekinya dia lagi banyak atau enggak."
"Terus, kemarin Nenek bilang ke Rumah Sakit mau periksain sakit jantung itu, siapa, Nek yang bayarin biaya berobatnya?" tanyaku lagi.
"Kan pake BPJS, Neng."
"Oh, iya ... maksudku, itu angsuran BPJS nya yang bayarin siapa?" tanyaku lagi.
"Oh, itu awalnya si Heni anak saya yang nomor 6 yang bayarin. Dari awal dia yang nawarin bikin dan katanya bakal bayarin angsurannya. Eeh kok tiba-tiba dia ngerasa keberatan. Jadi sekarang angsurannya dilanjutin sama Lisna, anak saya yang nomor 3." jawab Nenek.
"Si Heni itu ya, kelewatan anaknya. Suaminya itu padahal baik. Setiap ketemu saya suami Heni selalu kasih duit. Biasanya kasih lima ratus ribu. Eeh sama si Heni dilarang, katanya buat Mama mah dua ratus ribu aja jangan banyak-banyak."
"Astaghfirullah, kok begitu sih." ujarku geram. Anak macam apa itu? Biasanya menantu yang pelit ke mertua. Lah ini, menantunya baik, justru anaknya sendiri yang pelit.
"Makanya saya heran. Padahal dia Bidan, suaminya Polisi. Anak juga cuma dua. Nggak akan habis duit dia kalau cuma kasih saya lima ratus ribu, itu juga kan nggak setiap bulan. Dipikir kalau udah jadi Nenek-nenek udah nggak punya kebutuhan kali, ya?" Nenek bercerita dengan raut gusar, mengingat betapa perangai anaknya itu tak patut ditiru oleh siapapun.
"Dulu Nenek pikir, Nenek beruntung punya anak banyak. Kata orang kan banyak anak banyak rejeki, apalagi anaknya hampir semua perempuan, cuma satu yang laki-laki. Tapi nyatanya ... sudah tua nggak ada yang perhatian, Nenek merana sendirian. Cuma Lisna sama Iwan yang sedikit perhatian. Yang lainnya, entahlah ... entah masih ingat atau nggak kalau masih punya orang tua." Mata Nenek terlihat menyimpan kesedihan ketika mengucapkan kalimat itu.
"Padahal dulu Nenek mati-matian kerja. Jualan emas di Blok M dari pagi sampai malam biar mereka bisa sekolah tinggi, bisa sukses seperti sekarang. Tapi balasan mereka kok seperti ini."
"Nenek yang sabar ya," ujarku menenangkan.
Aku jadi merasa miris. Pastilah ada kesedihan mendalam di hati Nenek. Mungkin sebagian orang akan berfikir bahwa di dunia ini berlaku hukum tabur tuai, dan mengatakan mungkin dulu ketika anak-anaknya masih kecil dan butuh perhatian, si Nenek terlalu sibuk mencari nafkah sehingga tak memperhatikan mereka, karena itulah sekarang anak-anak pun tak memperhatikan si Nenek. Entahlah, wallahualam. Aku juga tidak tahu pasti karena aku tidak tahu bagaimana kehidupan Nenek di masa mudanya. Yang jelas, sebaiknya kita sebagai anak tidak melupakan jasa orang tua. Walau bagaimana pun, tak ada orang tua yang tak menyayangi anaknya.
Semoga, sebagai anak, kita semua tetap selalu berbakti dan mengasihi orang tua hingga akhir hayatnya. Semoga sebagai anak, kita dijauhkan dari sifat lalai dan durhaka, dan tak menjadikan orang tua menjadi renta yang hampa lagi sepi. Dan semoga, jika kita sudah menjadi orang tua, kita dilimpahkan rejeki berupa anak yang soleh/soleha, yang berbakti dan menyayangi orang tua, dan tak dibiarkan menua sendiri lagi merana.
***
Terima kasih yang sudah mau mampir dan membaca tulisan ini. Semoga bisa mengambil manfaat ya dari tulisan sederhana saya 😊🙏.
Baca juga
Contributor
- Anish
- Kamu tidak akan pernah tau, sampai kamu mengalaminya sendiri
Posting Komentar
Posting Komentar